Ganja Aceh : Potensi atau Proteksi?

Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke-19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainnya seperti Cina dan Thailand.
Tanaman yang awalnya hanya berfungsi sebagai penyedap masakan, belakangan dimodifikasi dan dimanfaatkan para bandar untuk membujuk masyarakat “serambi mekah” untuk terus menanam ganja. Secara esensial ganja sendiri yang pasti adalah tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang ditumbuh dimana saja. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah. Menjamurnya tanaman ganja di Aceh sangat didukung oleh kondisi geografis, tanahnya juga subur, hujan teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relatif stabil, ditambah lagi keterisolasian akibat konflik sejak zaman Belanda, DI-TII sampai era GAM.
Mengapa ganja dilarang?
Inilah pertanyaan yang belum dimengerti masyarakat luas. Padahal berbagai kampanye telah dilakukan, bahkan pemerintah sendiri pun telah mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi ganja yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu sebab mengapa ganja menjadi tumbuhan terlarang adalah karena zat THC. Zat ini bisa mengakibatkan pengguna menjadi mabuk sesaat jika disalah gunakan.
THC juga mengikat reseptor anandamide dan menekan kegiatan pada hipokampus, daerah otak yang dipakai untuk belajar, ingatan, dan emosi.
Dalam penelitian meta analisis para ahli dari Universitas Cardiff dan Universitas Bristol, Inggris, pecandu ganja berisiko schizopherina, yakni peningkatan gejala seperti paranoid, mendengar suara-suara dan melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada yang berujung pada kelainan jiwa, seperti depresi, ketakutan, mudah panik, kebingungan dan berhalusinasi, serta gangguan kehamilan dan janin. Menghisap ganja dapat berdampak pada kerusakan paru-paru, seperti batuk, bronkitis, dan kerentanan terhadap selesma dahak.
Efek ganja yang terberat adalah di otak. Kerusakan otak yang terjadi merupakan kerusakan yang irreversible atau tak dapat diubah. Efek ganja di otak tergantung dari lama, jumlah, dan cara pemakaian. Efek yang terjadi ialah euforia, rasa santai, mengantuk, dan berkurangnya interaksi sosial. Pada kasus-kasus ganja lainnya (pemakaian dalam jumlah sangat banyak) dapat muncul perasaan curiga yang berlebihan (paranoid), halusinasi visual. Hingga saat ini belum ada teknik transplantasi untuk menggantikan bagian-bagian otak yang telah rusak akibat penggunaan ganja tersebut.
Sumber : Majalah SINAR Edisi 4, Tahun 2010
Previous
Next Post »