Kehidupan Tepenk dan Steven Jam

Kalian pasti kenal dong dengan musisi Tepenk atau biasa di panggil Steven, yaitu vokalis dari Steven N coconut Trees atau Steven Jam ini.  Dan ketika masih di bangku sekolah dasar, ternyata Steven sudah mengenal musik Reggae. Hal itu didapat dari pamannya yang memang senang dengan musik Reggae. Hampir setiap pagi, pamannya selalu menikmati lagu-lagu Bob Marley dan secara tak langsung juga didengar oleh Tepenk, panggilan akrab Steven.

Kehidupan di masa kecil itulah yang menginspirasi Steven bermain musik Reggae hingga saat ini. Meski pada masa awal ia hadir di ranah permusikan Indonesia, penikmat musik di tanah air kebanyakan mengenalnya sebagai Steven Scope, vokalis Band yang bergenre punk alternatif. Waktu itu rambutnya gimbal lebat dan agak panjang. Gaya dan penampilan yang sama seperti saat Reggae Indonesia bertemu di kawasan Jakarta Barat untuk ngobrol-ngobrol.

Pria kelahiran Pekan baru, 3 januari 1975 ini mulai bermain musik saat ia masih duduk di bangku SMP. Steven sempat memainkan musik metal sampai ia duduk di bangku SMA . Karena memang di zaman itu, tepatnya di tahun 1992 musik jenis Thrash Metal sangat digandrungi oleh kaum muda. Bahkan bisa dibilang eksistensi dari musik tersebut mendominasi perhelatan musik di tanah air. ”Jadi emang dasarnya gue udah suka Reggae. Cuma waktu itu menjelang gue main band sudah smp. Terus menjelang ke SMA gue cari tandem Reggae, yang main Reggae itu susah banget. Terus pas gue lagi SMA itu kan lagi gila-gilanya trash metal”, Steven menegaskan.

Lajang yang memiliki nama asli Stevan Nugraha Kaligis ini baru menemukan tandem untuk bermain Reggae ketika menginjak dunia kampus. Namun tak lantas ia meninggalkan musik berjenis metal, suara distorsi sepertinya sudah kadung melekat dan sulit untuk ditinggalkan begitu saja. Sekadar catatan, Steven pernah berkuliah namun tidak sampai tamat di dua kampus berbeda.

Steven mengakui hanya dua sound yang paling disukainya di dunia ini, Reggae dan distortion. . Dua hal yang sebenarnya bertolak belakang, tetapi itulah Steven. Tipikal anak muda yang sepertinya memang senang bereksplorasi. Ia mengombinasi keduanya. Dan hasilnya adalah alternative punk, yang diusung sama-sama dalam sebuah band alternative yang dilabeli dengan nama Scope. Band yang mengawali debut Steven di belantika musik tanah air. Di setiap album Scope dipaksakan agar terdapat sound Reggae. Sehingga ia punya kesempatan untuk berkolaborasi. ”Gue punya 3 album sama Scope. Jadi punya kesempatan kolaborasi itu justru di Scope. Album yang ke-2 sama Tony Q Rastafara. Terus yang ke-3 sama Almarhum Imanez. Jadi setiap album itu ada satu lagu yang gue paksain untuk mainin Reggae”, demikian Steven menjelaskan album yang sudah dikeluarkan bersama Band Scope.

Selain Bob Marley, Steven punya orang-orang dari negeri sendiri yang cukup memberikan inspirasi pada dirinya dalam memainkan musik Reggae. Orang-orang tersebut adalah musisi Reggae yang pernah berkolaborasi bersamanya dalam membawakan lagu Reggae, Almarhum Imanez dan Tony Q Rastafara. Imanez menurutnya adalah sosok pemusik yang dapat mengombinasikan bagaimana Reggae dapat diterima di telinga orang-orang Indonesia. Menurut Steven, Almarhum Imanez dapat memainkan Reggae dengan gayanya. Sementara Tony Q Rastafara mengajarkannya banyak hal tentang bagaimana untuk dapat bertahan dan konsisten terus di jalurnya, khususnya musik Reggae. Steven memiliki kekaguman tersendiri terhadap Tony Q Rastafara yang hingga saat ini sudah hampir 22 tahun bermain Reggae dan masih tetap bertahan. Meskipun tidak terlalu melesak dibandingkan musik-musik yang sedang tren, menurut Steven, Tony Q Rastafara mampu “menularkan virus” musik Reggae di Indonesia. Menurut kesaksian Steven, jika dibandingkan dengan masa-masa dulu, saat ini musik Reggae sudah ada di hati para penggemarnya.

Sedangkan untuk pemusik mancanegara, selain menyukai Bob Marley, Steven juga suka Big Mountain dan Three Eleven (311). “Walaupun 311 tidak memainkan musik Reggae tapi beberapa lagunya cukup asyik untuk didengar”, demikian Steven menegaskan. Termasuk seperti Black Uhuru dan Freddie McGregor, ia juga menyukainya.

PEMANTIK REGGAE INDONESIA
Keinginan yang besar untuk membuat album Reggae sendiri ia wujudkan dengan merilis album solonya yang bertajuk The Other Side. Itulah yang menjadi album pertama Steven yang juga tidak terlepas dari campur tangan dingin Tony Q Rastafara, Ikon Musik Reggae di Indonesia, yang membantu dalam proses pembuatan album pertamanya.

Meski demikian Steven juga tidak terlepas dari persoalan pasar, di mana Reggae masih sangat sulit untuk menembus industri musik tanah air. Ia harus jungkir balik menawarkan albumnya ke label-label industri musik untuk mencoba menembus pasar dan melawan genre yang sedang populer di Indonesia. Menurutnya, saat itu industri musik Indonesia sangat underestimate, sehingga meremehkan keberadaan musik Reggae.

Dengan keluarnya album The Other Side, ternyata Steven mampu memutarbalikkan anggapan pasar industri musik di tanah air. Singel berbahasa Inggris sebagai hits andalan di album itu, Welcome To My Paradise, mampu menggebrak pasar industri musik di tanah air. Dengan sedikit merendah, Steven menyebut hal ini dengan pemantik bagi Musik Reggae di Indonesia.

BAND STEVEN & COCONUTTREEZ
Pertarungan yang keras tidak mematahkan semangatnya untuk terus bermain musik Reggae. Hingga akhirnya Steven bisa menelurkan album keduanya. Meski menurutnya band di mana tempat dia berkarya bisa dibilang ilegal karena tidak punya kontrak dengan perusahaan manapun. Kebersamaannya dengan personil Band Steven & Coconuttreez tidak dibangun di atas secarik kertas atau ikatan kontrak. Intensitas dalam keseharian bersama grupnya telah membentuk ikatan moral yang diyakininya lebih kuat dari kekuatan apapun. Steven menyebut hubungan itu dengan kata gentlemen agreement.

Album perdananya di tahun 2005, The Other Side ditegaskan Steven adalah sebagai sebuah album solo dengan nama Steven & Coconuttreezz. Kesepakatan untuk mengganti Steven & Coconuttrezz dari solo menjadi sebuah band justru baru diwujudkan pada tahun 2006. Di saat mengeluarkan album keduanya. Hingga kini Steven & Coconuttreez sudah memiliki tiga buah album. Sebagai album yang paling terakhir bertajuk Good Atmosphere.

Steven memastikan bahwa sampai saat ini Band Steven & Coconuttreez masih ada. Hanya saja sedang break untuk sementara waktu. ”Sedang refresh”, begitu Steven menggambarkan. Beberapa personilnya sedang mencoba untuk membuat solo album. Ketika ditanyakan kapan Steven & Coconuttreez akan kembali, Steven menerangkan ”Belum tau kapan kumpul lagi. Waktunya refresh itu kan biasa dalam berkesenian. Refresh itu sangat tergantung pada mood, masing-masing tunggu mood-nya pas. Dan menurut feeling gue, pasti ada kangennya. Saat rasa kangen itu datang, kan enak tuh! Kalaupun dipaksakan, misalnya tahun depan, iya kalau mood-nya sudah bagus. Kalau belum bagus, juga gak bakalan menghasilkan apa-apa”.

Reggae sebagai musik yang awalnya dianggap bagian dari dunia kelam dan minoritas, bahkan major label memandang remeh karena dianggap tidak membawa keuntungan finansial, tiba-tiba terbang ke udara dan menciptakan suasana pertemanan. Musik ini juga menyampaikan cukup kritik, bercerita sesuatu yang berada di sekitar dunia sosial kita dengan cukup santun dan mudah didengarkan. Semua orang bisa berdendang dan ikut berdansa.

Seketika pikiran kebanyakan orang menjadi terbuka, setidaknya membuka mata dan lebih jauh merasakan kedahsyatan musik yang terlahir dari Negara Jamaika ini. Reggae meng-influence di kehidupan masyarakat Indonesia. Walaupun tidak menciptakan ledakan namun banyak sudah yang merasakan, adanya daya tersendiri dari musik Reggae dan komunitas yang menjadi bagiannya.
Steven yakin semua terjadi memang karena sudah ada kerja-kerja dan karya yang dilakukan orang di waktu-waktu sebelumnya. Itu sebab kenapa ia menolak disebut sebagai pelopor Reggae di Indonesia.

Secara jujur Steven mengakui, bahwa ia tidak menginginkan adanya ledakan yang sangat dahsyat dalam musik Reggae di Indonesia. Kecenderungan tren musik di Indonesia diilustrasikan Steven seperti bunyi ledakan yang mudah hilang. Menurutnya Indonesia memiliki standar tren musik yang mudah berubah-ubah. Ketika Indonesia sedang dilanda musik indie, maka para musisi dan penggemar musik di Indonesia akan menggandrungi indie. Tapi begitu trennya berganti haluan menjadi pop, sedikit demi sedikit kebanyakan dari mereka akan menepi ke pop. ”Sekarang trennya mungkin agak lama, terus yang seragam sekarang ini sedang mengekspos cinta-cintaan”, begitu Steven menjelaskan.

Sedangkan dalam musik Reggae di Indonesia hal itu tidak akan terjadi. Steven menegaskan, ”Reggae setidaknya memiliki line tersendiri”. Karena Reggae di Indonesia kuat pada tataran komunitas. Komunitas yang fanatik dalam musik Reggae tidak akan terpengaruh terhadap kecenderungan tren yang ada.

Bob Marley dipastikan tetap mengispirasi dalam setiap album yang digarap Steven, namun bukan berarti hal itu menjadikan ia sebagai Marley centris. Menurut Steven, kebanyakan namun bukan suatu kesalahan, banyak band Reggae baru di Indonesia yang terlalu Marley centris. ”Mau jadi Bob Marley? ngedeketin (menyamakan-RI) aja susah. Sekarang mereka memang bisa mirip Marley pada akhirnya, kasarnya seperti mukjizat. Tapi kan orang mendingan dengar Bob Marley. Mereka cuma mirip doang, mending mereka dengar aslinya (Bob Marley-RI)”, begitu Steven menceritakan.

Steven mengharapkan band-band Reggae Indonesia yang ada sekarang ini untuk bermain lebih jujur, untuk mengeluarkan semua yang dimiliki. Sehingga akan dihasilkan musik yang lebih orisinil. Kalaupun dianggap tidak orisinil dalam genrenya, setidaknya orisinil dalam style-nya.

Pria yang pernah mengamen di kawasan Bulungan, Jakarta selama 2 tahun ini menjelaskan bahwa ia mengadaptasi Bob Marley hanya sebatas pada spirit dan proses bermusiknya, dalam hal musikalitas belaka. Tapi kalau bicara masalah kepercayaan, ia tidak mengikuti apa yang telah Bob Marley lakukan, yaitu mengikuti Ajaran Rastafarian. Dikarenakan ia akan tetap memeluk agama yang sudah dianutnya sejak lahir. Dengan tegas ia mengatakan, ”Bagi gue, Marley bukan nabi”.

Steven menjelaskan bahwa dalam keseharian, kultur, dan jaman sekarang ini sudah berbeda dengan apa yang dialami Bob Marley saat ia bermain musik. ”Jamannya Reggae, jamannya Bob Marley itu lagi revolusi. Sedangkan gue, kasarnya jamannya lagi survive. Jamannya sudah beda. Itu akhirnya berpengaruh ke lirik-lirik yang gue bikin”, Steven menambahkan.

ALBUM STEVEN JAM
Ia menegaskan bahwa nuansa musikalitas dalam Steven Jam akan terdengar berbeda dengan apa yang sudah ada dalam band terdahulunya, Steven & Coconuttreez. Dalam album terbarunya, Feel The Vibration, Masyarakat Reggae Indonesia akan mendengarkan campuran dua sound yang berbeda, distorsi dan Reggae. Ditambah pola-pola brass section yang akan banyak diperdengarkan dalam album Steven Jam. Kebanyakan lriik dalam album ini lebih ke arah sosial sehingga akan dikurangi pada porsi politik. Karena menurutnya sudah ada Iwan fals dan Slank yang mewakili itu.

Ketidaktertarikan Steven mengeksplorasi lirik-lirik politik disebabkan anggapan bahwa sudah banyak ”orang pintar” yang berbicara mengenai politik. ”Maraknya demo di jalan yang jelas-jelas bernuansa politik saja tidak didengar, apalagi gue. Gue mungkin perlu proses untuk itu. Orang yang dengar Reggae kan sedikit, apa mungkin Reggae juga akan didengar oleh mereka yang sudah duduk di kursi yang enak?”, begitu Steven berpendapat.

Steven ingin Reggae di Indonesia tidak menjadi kotak, kelihatan seperti terdapat ruh. Masih menurutnya, sebaiknya Reggae itu bisa dikombinasikan dengan sound dan genre musik-musik yang lain biar tidak monoton.
Dalam Steven Jam, mayoritas dipastikan akan diperkuat oleh addtional player. Di samping itu Steven juga tetap menggandeng Teguh (Tege Dreads-RI), teman lamanya dalam Band Steven & Coconuttreez.

Untuk album ini rencananya akan ada sebelas lagu yang tentunya dipilh paling asyik dan enak didengar bagi para pecinta musik Reggae. Padahal Steven sendiri mengaku telah membuat 28 lagu baru, ”Hitung-hitung untuk stok mendatang”, begitu katanya.

Dipastikan album ini akan berbeda dengan lagu-lagu sebelumnya. Karena ia ingin sekali punya warna sendiri, atau istilahnya ia katakan dengan sebutan Steven Area. Lirik dan aransemen dikerjakan sendiri, termasuk produser tambah operator disikat semuanya. Bahkan beberapa instrumen juga dimainkannya sendiri. Ia menyebutnya dengan kata ”monopoli” dalam penggarapan albumnya kali ini.

PEMBAJAKAN DAN RBT: DILEMA!
Dalam perbincangannya dengan Reggae Indonesia terkait maraknya praktek pembajakan, Steven sangat berharap karya yg ia hasilkan di dalam album terbaru ini terhindar dari pembajakan, walaupun kita semua bisa meyakini bahwa praktek pembajakan di tanah air sulit untuk diberantas.

Karena ia memiliki pengalaman tersendiri dengan benalu dalam karya musik di Indonesia ini. Pada saat album pertamanya baru dirilis dalam bentuk kaset, ternyata compact disc versi bajakannya sudah beredar luas di pasaran. Tidak hanya Steven, tapi seluruh musisi di belahan dunia manapun pasti akan geram menghadapi kenyataan ini. Menurut pengakuannya, saat penggarapan album The Other Side tersebut ia sempat mengalami demam dan menurutnya pengerjaan album itu lebih capek daripada orang bermain bola selama 6 tahun. Namun ia mencoba untuk berbesar hati dan mengedepankan pemikiran yang positif, bahwa hal itu bisa digunakan untuk promosi terselubung.

Di sisi lain, Ring Back Tone (RBT) pada akhirnya menjadi dilema bagi Steven sebagai pemusik. RBT sekarang ini memang sudah menjadi lifestyle. Memang RBT tidak bisa dibajak. Tapi kalau didengarkan hanya sepenggal saja, orang tidak akan bisa menikmati musiknya secara keseluruhan. Ibarat dua kutub magnet yang berbeda, finansial dan musikalitas sekali lagi menjadi acuan tersendiri bagi industri musik di Indonesia. Ironisnya, masyarakat kini lebih suka membeli RBT daripada kaset atau CD-nya.

Mari rasakan bersama getaran yang baru dari Steven Jam. Biar lebih asyik dan asli getarannya serta tidak merasakan hanya sepotong, Masyarakat Reggae Indonesia disarankan untuk tidak hanya membeli RBT-nya tapi juga membeli kaset atau CD aslinya. Masyarakatkan Reggae Indonesia dan Reggaekan Masyarakat Indonesia. Feel The Vibration!



(Sumber: Tabloid Reggae Indonesia)
Previous
Next Post »